Solo — Di tengah arus modernisasi yang kian deras, Ketoprak Sriwedari tetap setia mempertahankan eksistensinya sebagai salah satu seni tradisional khas Jawa yang kaya akan nilai budaya dan pesan moral. Ketoprak ini berlokasi di kawasan wisata budaya Taman Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, Senin( 24/06/2025 ).
Salah satu koordinator disana bernama Tatak(48), yang telah mengabdikan diri sejak 2009, untuk menjaga keberlangsungan pertunjukan ini. Meski baru menjabat sebagai koordinator, pengalamannya mengurus ketoprak selama bertahun-tahun membuatnya memahami betul dinamika yang terjadi.
Setiap Minggu malam, pementasan rutin digelar di kawasan wisata Taman Sriwedari yang dikelola oleh Dinas Pariwisata melalui UPT Kawasan Wisata. “Acara ini diadakan rutin tiap hari Minggu, dimulai pukul 20.00 WIB hingga sekitar pukul 22.15,” jelas Tatak.


Dalam organisasi, ia bekerja sama dengan sutradara, tim pengrawit (sekitar 16 orang), para pemain (sekitar 50 orang), dan tim pendukung (sekitar 8 orang). Setiap minggunya, judul lakon yang dipentaskan selalu berganti.
Namun demikian, kondisi Ketoprak saat ini berbeda jauh dibandingkan masa jayanya di era 1980-an. “Dulu, pementasan ketoprak bisa berpindah-pindah dari Manahan, Alun-Alun Kidul, Klaten, dan berbagai daerah lain. Ketika TV swasta mulai muncul di tahun 90-an, perlahan minat penonton mulai surut.” Jelas Tatak.
Kini, dari ratusan kelompok ketoprak yang dulu berjaya, hanya sedikit yang mampu bertahan. Ketoprak Balenkambang — yang dulu menjadi pusat pementasan — akhirnya dipindahkan ke Sriwedari sejak 2021 akibat penonton yang semakin menurun.


Meskipun begitu, daya tarik ketoprak tetap bertahan karena sifatnya yang realis. Cerita-ceritanya fleksibel, bisa mengangkat tema klasik maupun modern. “Kesenian realis membuat ketoprak berkembang. Cerita bisa menyesuaikan zaman, bahkan bisa mengangkat isu sosial masa kini,” ungkap Tatak.
Tidak hanya sekadar hiburan, ketoprak juga menjadi media penyampai pesan moral dan sosial. Misalnya, pernah diangkat isu kerusuhan antar warga yang kemudian dipentaskan sebagai media edukasi masyarakat. “Lewat ketoprak, kita bisa menyampaikan bahwa konflik sebaiknya diselesaikan secara damai,” tambahnya.
Penonton ketoprak saat ini cukup beragam, mulai dari usia 18 hingga di atas 50 tahun. Namun, memang diakui sebagian besar masih didominasi kalangan tua. Untuk menarik minat generasi muda, panitia aktif mempromosikan pementasan melalui media sosial seperti Instagram, Facebook, dan TikTok.

Dengan harga tiket Rp 20.000, Ketoprak Sriwedari tetap menjadi destinasi budaya yang terjangkau. Bahkan, wisatawan lokal maupun luar kota kerap datang menikmati sajian seni ini. Menurut Tatak, potensi pengembangan wisata budaya ini masih besar jika kemasannya terus disesuaikan dengan selera generasi masa kini.
Sebagai pusat kesenian di Kota Solo, keberadaan Taman Sriwedari sangat strategis untuk terus menjaga keberlangsungan seni tradisi. “Taman Sriwedari memang dari dulu pusat budaya di Solo. Letaknya di tengah kota, jadi mudah dijangkau,” katanya.
Meski menghadapi tantangan berat dari perubahan zaman, semangat para pegiat Ketoprak Sriwedari tetap menyala demi melestarikan warisan budaya Jawa bagi generasi mendatang.
Tinggalkan Balasan