
Surakarta — Berdiri megah di tengah Kota Surakarta, tepatnya di Jalan Slamet Riyadi No. 275, Museum Radya Pustaka tak hanya menyimpan benda-benda sejarah, namun juga menjadi saksi bisu perjalanan panjang budaya Jawa. Dengan arsitektur khas kolonial Belanda yang masih terawat, museum ini memadukan nuansa klasik dan edukatif yang menarik untuk semua kalangan, khususnya generasi muda. Museum Radya Pustaka awalnya bukanlah museum seperti yang kita kenal sekarang. “Dulu merupakan sebuah 'pahaman' atau lembaga kajian ilmu pengetahuan,” ujar Indio, pemandu wisata di museum ini. Lembaga tersebut didirikan oleh Kanjeng Adipati Sosrodiningrat IV pada tahun 1890 di rumah kediamannya. Seiring waktu, karena semakin banyaknya koleksi yang diterima—terutama benda-benda pusaka dari Keraton Surakarta—pahaman tersebut dipindahkan ke gedung Loji Kadipolo, yang dulunya merupakan rumah milik orang Belanda bernama Johannes Buslar.

Gedung bergaya arsitektur Belanda ini kemudian dibeli oleh Pakubuwana X atas nama Sosrodiningrat IV dan diresmikan sebagai museum pada tahun 1913. Sejak saat itu, Radya Pustaka menjadi museum tertua di Indonesia yang terbuka untuk umum. Salah satu koleksi andalan museum ini adalah deretan arca dan patung dari masa Hindu-Buddha yang diletakkan di halaman depan, seperti arca Dewa Siwa, Dewi Durga, dan Ganesha. Tidak kalah menarik, di dalam museum juga terdapat patung kepala kapal Rajamala—bagian dari kapal kerajaan milik Pakubuwana V yang digunakan untuk menyusuri alur sungai menuju kampung halaman sang ibu di Madura.
“Selain koleksi benda, kami juga memiliki ruangan manuskrip yang menyimpan naskah-naskah kuno, seperti Serat Kalitodo karya Ranggawarsita,” jelas Indio. Ruangan manuskrip ini menjadi incaran banyak peneliti dan mahasiswa, meski aksesnya dibatasi dan memerlukan izin resmi dari Badan Riset Daerah (BRIDA). Museum Radya Pustaka buka setiap hari Selasa - Minggu, pukul 08.00–16.00 WIB dan untuk tiket masuk untuk umum Rp10.000 dan untuk pelajar Rp7,500. Senin merupakan hari libur museum. Bagi pengunjung yang ingin mendapatkan penjelasan lebih mendalam, tersedia layanan pemandu wisata yang dapat diminta secara sukarela, tanpa biaya tetap.
Dalam hal perawatan, tim museum secara rutin membersihkan koleksi menggunakan kuas halus dan mengganti bahan pengawet khusus. “Perawatan ini penting mengingat banyak koleksi yang merupakan benda asli dan sangat rentan,” ungkap Indio. Sejak tahun 2010, pengelolaan museum ini berada di bawah naungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta (Disbudpar). Meski belum banyak menjalin kerja sama dengan komunitas sejarah secara langsung, Radya Pustaka terus membuka diri terhadap kegiatan edukatif dan penelitian.

Meski tantangannya tak ringan—mulai dari dana hingga perawatan koleksi—harapan terhadap peran museum ini tetap besar. “Saya berharap anak-anak muda bisa lebih melek sejarah. Karena siapa lagi yang akan melestarikan warisan budaya kita kalau bukan kita sendiri?” ujar Indio penuh semangat. Museum Radya Pustaka tak hanya menyajikan benda-benda peninggalan masa lalu, tapi juga menumbuhkan kesadaran budaya dan identitas sejarah. Sebuah tempat yang wajib dikunjungi, bukan hanya oleh wisatawan, tetapi oleh siapa saja yang ingin mengenal lebih dalam tentang akar budaya Jawa dan peradaban Nusantara.
Tinggalkan Balasan